Level kompetensi menurut
SKDI: 4A (Pada saat lulus, anda harus mampu membuat diagnosis
klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan
tuntas).
KASUS
Seorang laki-laki
berusia 14 tahun berobat ke klinik dengan keluhan wajah sebelah kiri terasa
kaku dan kelopak mata kiri tidak bisa menutup. Dari anamnesis didapatkan bahwa:
sekitar 1 minggu sebelum berobat, ketika bangun tidur, pasen mendapati bahwa
wajah sebelah kirinya terasa kaku sehingga pasen tidak bisa berkumur dan bila tersenyum tampak mencong ke kanan.
Selain itu kelopak mata kirinya tidak dapat menutup sehingga mata kiri terasa
kering. Lidah bagian kiri depan tidak dapat mengecap rasa. Tidak ada keluhan
dalam pendengaran. Tidak terdapat bintik-bintik berair di daerah telinga atau
di rongga mulut. Sebelum kejadian
ini, pasen begadang dan tertidur di lantai.
Riwayat penyakit
dahulu: Tidak pernah keluar cairan dari telinga, tidak pernah terkena infeksi
telinga. Tidak ada riwayat trauma kepala.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan: kesadaran
composmentis, tanda-tanda vital dalam batas normal. Tidak ditemukan vesikel
herpetiformis di daerah telinga atau oropharynx, tidak terdapat kelainan
telinga lain. Pada pemeriksaan fisik neurologis ditemukan paresis N.VII kiri
perifer dengan Bell’s phenomenon (+).
Saraf otak lain normal. Motorik, sensorik, koordinasi dan keseimbangan
dalam batas normal. Refleks fisiologis +/+, refleks patologis -/-
PROBLEM KLINIK
Penyebab tersering paresis akut N.VII unilateral adalah stroke dan
Bell’s Palsy. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologis kita dapat
menentukan apakah paresis ini suatu paresis N.VII sentral atau perifer. Paresis
N.VII sentral akut paling sering disebabkan oleh stroke. Sedangkan paresis
N.VII perifer akut paling sering merupakan suatu Bell’s Palsy.
Tinjauan teoritis Bell’s Palsy:
Bell’s palsy didefinisikan
sebagai paresis atau paralisis N.VII (N.facialis) perifer unilateral yang
terjadi akut dan idiopatik. Paresis komplet ataupun inkomplet ini disebabkan
kelainan/ gangguan pada bagian N.VII di sebelah distal dari nukleusnya di Pons.
Insidensi dan prevalensi
Insidensi Bell’s
palsy sekitar 20 per 100.000 kasus pertahun. Satu dari 60 orang akan mengalami
Bell’s palsy dalam seumur hidupnya. Insidensi pada laki-laki sama dengan
perempuan. Peak incidence: antara 15-40 tahun. (Julian Holland, 2011) Kasus ini jarang
terjadi pada anak usia < 10 tahun, bila terjadi paresis N.VII perifer pada usia ini, harus dicari
penyebabnya, apakah: OMA, mastoiditis atau tumor parotis. (Julian Holland, 2011)
Etiologi Bell’s
palsy
Bell palsy adalah
suatu paresis N.VII yang idiopatik.
Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa kelainan ini berkorelasi dengan gangguan
vaskular, inflamasi dan infeksi virus. (Julian Holland, 2011) Diduga paresis N.VII
dapat timbul setelah pajanan (eksposur) terhadap suhu dingin dan diduga disebabkan oleh
edema saraf perifer N.VII di dalam canalis
facialis. (P.Rowland., 1995) Penelitian serologis
dan penelitian pada ganglia serebral menunjukkan bahwa Bell’s Palsy
berkorelasi dengan
reaktivasi virus Herpes dalam ganglion
geniculatum nervus facialis. (Frank M. Sullivan, 2007) (Julian Holland, 2011)
Beberapa peneliti
menemukan Herpes simplex virus (HSV) tipe I
pada 50% kasus, namun peneliti lainnya menyebutkan bahwa hanya < 20%
kasus Bell’s Palsy dengan pemeriksaan
serologis HSV (+) atau Herpes zoster (+). Paresis N.VII yang terkait Herpes
zoster sering berupa “zoster sine herpete”
(tanpa lesi herpetiformis), hanya 6% disertai vesikel herpetik (yaitu pada
kasus Sindroma Ramsay Hunt). Adanya infeksi Herpes zoster berhubungan dengan
prognosis buruk. (Julian Holland, 2011)
Patogenesis
dan patofisiologi
Patogenesis dan
patofisiologi Bell’s Palsy belum jelas. Dengan adanya bukti bahwa penyakit ini
berkorelasi dengan infeksi ataupun reaktivasi virus, maka timbul hipotesis
bahwa Bell’s Palsy berkaitan dengan respons imun. Inflamasi N.VII awalnya
berupa neuropraksis reversibel, namun selanjutnya dapat disertai degenerasi
wallerian. Penelitian histologis terhadap N.VII pada
fase akut Bell’s Palsy menunjukkan adanya edema, infiltrasi makrofag dan
limfosit perivaskular perineural. Hal ini disertai penipisan selubung myelin. (Russell,
2011)
TUGAS: JELASKAN APA YANG DIMAKSUD DENGAN NEUROPRAKSIS dan DEGENERASI WALLERIAN!
Tanda dan Gejala
klinik:
Gangguan gerak
wajah bagian bawah saja merupakan pola paresis N.VII sentral. Maka pada setiap
pasen dengan keluhan wajah terasa kaku sebelah atau mencong sebelah, perlu
dilakukan pemeriksaan fisik neurologis untuk menemukan ada-tidaknya gangguan
gerak wajah bagian atas (pola perifer) berupa lagophthalmos (gangguan gerak
menutup kelopak mata atas), mengangkat alis, mengerutkan kening, lakrimasi. Lagophthalmos
disertai Bell’s Phenomenon (gerakan bola mata ke atas ketika pasen berupaya
untuk menutup kelopak matanya). (P.Rowland., 1995)
Gejala penyerta
dapat berupa nyeri ringan di belakang telinga atau di dalam telinga, kaku
daerah wajah, hyperacusis (gangguan
toleransi terhadap suara bising), dan gangguan pengecap di daerah anterior
lidah. Nyeri hebat ditemukan pada kasus paresis N.VII perifer yang berhubungan
dengan infeksi virus Herpes Zoster atau sindroma Ramsay Hunt. Pada setiap kasus
paresis N.VII perifer kita harus menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab
lain. Tigapuluh persen paresis N.VII perifer akut tidak merupakan Bell’s palsy,
melainkan disebabkan oleh stroke, tumor, trauma, otitis media. (Julian
Holland, 2011)
Diagnosis
banding
Paresis N.VII et causa diabetes mellitus, vaskular, infeksi HIV, sindroma Ramsay Hunt, sindroma Sjögren, tumor, trauma. Paresis N.VII
perifer bilateral dapat terjadi pada polineuropati akut (sindroma Guillain
Barre). (Donald H. Gilden, 2004)
|
Vesikel herpetiformis di area sekitar telinga pada sindroma Ramsay Hunt |
Diagnosis
Langkah 1: Menentukan apakah
benar onsetnya akut.
Langkah 2: Menentukan apakah
paresis N.VII bersifat sentral atau perifer.
Instruksikan pasen
untuk tersenyum/ meringis memperlihatkan gigi, kemudian mengangkat alisnya.
Pada gambar A tampak
plica nasolabialis kanan mendatar, namun pasen dapat mengangkat alis sama
tinggi. Ini adalah suatu paresis N.VII kanan sentral (lesi pada jaras
supranuklear).
Pada gambar B tampak
plica nasolabialis kanan mendatar, disertai alis kanan tidak dapat diangkat,
sehingga dahi kanan tidak berkerut (bandingkan dengan sisi kiri dari wajah pasen
ini). Ketika diminta untuk memejamkan mata, terdapat
lagophthalmos di sisi kanan. Ini menunjukkan paresis N.VII kanan perifer.
TUGAS: JELASKAN NEUROANATOMI N.VII.
Gambar C menunjukkan hemifacial spasm kanan
Langkah 3: Menyingkirkan penyebab
(etiologi) yang mungkin.
Bila idiopatik, maka
ini adalah suatu Bell’s Palsy.
Pemeriksaan
penunjang
Pemeriksaan
elektrodiagnosis (EMG dan/atau Nerve Conduction Study) untuk melihat derajat
beratnya lesi neurogen. Apakah terdapat demyelinasi atau degenerasi aksonal.
Penatalaksanaan
Terdapat
kontroversi dalam penatalaksanaan Bell’s Palsy. Walaupun evidence-based-nya lemah, namun biasanya pengobatan meliputi
pemberian prednisolone dan acyclovir. (Frank M. Sullivan, 2007). Terdapat 2 (dua) Cochrane review terkini yang
mengevaluasi efektivitas kortikosteroid dan obat antiviral terhadap pasen
dengan Bell’s Palsy. Analisis dilakukan terhadap 4 (empat) RCT (Randomized,
Controlled Trials) pengobatan
kortikosteroid pada total 179 pasen
Bell’s palsy. Analisis terhadap pengobatan antiviral dilakukan terhadap 3
(tiga) penelitian RCT dengan total 246 pasen. Kedua Cochrane review tersebut menyimpulkan bahwa data evidence-based yang tersedia belum cukup
untuk mendukung pengobatan dengan kortikosteroid maupun antiviral. (Frank M.
Sullivan, 2007).
Pada tahun 2004-2006,
“the Health Technology Assessment Program
of the National Institute for Health Research” dari U.K melakukan
penelitian untuk menilai apakah penggunaan prednisolone atau acyclovir secara dini dapat meningkatkan
perbaikan pada kasus Bell’s Palsy. (Frank M. Sullivan, 2007) Penelitian dengan
desain RCT ini dilakukan pada 17 RS di Skotlandia. Sampel adalah pasen dengan diagnosis “suspek Bell’s Palsy” yang
dirujuk oleh dokter keluarga atau dokter klinik umum/ emergensi, dan para pasen
ini diteliti selama 9 bulan. Kriteria eksklusi meliputi: kehamilan, ibu
menyusui, diabetes mellitus, otitis media supurativa, herpes zoster, multiple
sclerosis, infeksi sistemik. Penelitian ini diikuti 620 pasen, 75.3% dirujuk
oleh dokter keluarga dan 7,4% dirujuk dari Unit Gawat Darurat RS. Pada
penelitian ini tampak bahwa pasen yang mendapatkan placebo 64.7% mengalami
perbaikan dalam 3 bulan dan 85.2% dalam
9 bulan. Pasen yang mendapat pengobatan dini (dalam 72 jam setelah onset)
dengan prednisolone dosis 2 x 25 mg ternyata 83% mengalami perbaikan dalam 3 bulan
dan 94,4% dalam 9 bulan. Sedangkan acyclovir dosis 5 x 400 mg (tanpa
prednisolone maupun dengan prednisolone) tidak meningkatkan angka kesembuhan
dibandingkan dengan placebo. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengobatan dengan
prednisolone efektif dalam meningkatkan perbaikan klinis pada pasen Bell’s Palsy. Mekanisme kerjanya
meliputi:
1) Modulasi respons
imun terhadap agen penyebab (virus)
atau:
2) Mengurangi edema
di sekitar N.VII di sepanjang canalis facialis.
Pengobatan dengan
acyclovir tidak menunjukkan efektivitas tambahan, sehingga tidak direkomendasikan.
(Frank M. Sullivan, 2007)
Rehabilitasi
medik untuk Bell’s Palsy meliputi stimulasi elektrik terhadap otot-otot wajah
dan latihan gerakan wajah. Selain itu juga dapat dilakukan “facial
neuromuscular re-education” yang terdiri dari evaluasi gangguan fungsi
N.VII yang dialami pasen, disertai sesi latihan untuk melakukan pola gerakan wajah yang benar.
Prognosis
Secara umum,
prognosisnya baik tanpa pengobatan. 85% kasus mengalami perbaikan dalam 3
minggu, 15% perbaikan terjadi dalam 3-5 bulan. Bila secara klinis tidak tampak perbaikan dalam 3
minggu, mungkin disebabkan oleh degenerasi N.VII atau ada faktor etiologi lain
yang harus dicari dengan pemeriksaan CT Scan/ MRI. 71 % kasus kembali normal
(yaitu 61% dari kasus paralisis komplet dan 94% paresis parsial) 29% lainnya
mengalami gejala sisa kelumpuhan N.VII dengan derajat paresis yang bervariasi:
17% dengan kontraktur, 16% dengan “hemifacial spasm” atau synkinesis. Gejala
sisa ini mempunyai efek terhadap
kualitas hidup jangka panjang. Prognosis Bell’s Palsy pada anak umumnya baik,
>90% mengalami perbaikan spontan. Anak dengan paralisis komplet mempunyai
prognosis buruk.
DIAGNOSIS PADA KASUS INI: Bell’s Palsy kiri.
Dasar diagnosis: kasus ini didiagnosis sebagai Bell’s Palsy
karena memenuhi kriteria yang sesuai dengan definisi Bell’s Palsy, yaitu paresis
atau paralisis N.VII (N.facialis) perifer unilateral yang terjadi akut dan
idiopatik. Kasus yang kita hadapi di sini mempunyai onset yang bersifat akut,
dan tidak ditemukan kelainan lain yang menyertai seperti Otitis Media,
mastoiditis ataupun sindroma Ramsay Hunt.
TUGAS:
BAGAIMANA RENCANA PENATALAKSANAAN DAN
PROGNOSIS PADA KASUS INI?
Referensi:
Julian Holland,
Jonathan Bernstein, “Bell Palsy”
Clinical Evidence Handbook. A publication of BMJ Publishing Group (One in a
series of chapters excerpted from the Clinical Evidence Handbook, published by
the BMJ Publishing Group, London, U.K.)
. Am
Fam Physician. 2011 Oct 15;84(8):947-948.
Frank M. Sullivan, Ph.D., Iain R.C. Swan, M.D., Peter T. Donnan,
Ph.D., Jillian M. Morrison, Ph.D., Blair H. Smith, M.D., Brian McKinstry, M.D.,
Richard J. Davenport, D.M., Luke D. Vale, Ph.D., Janet E. Clarkson, Ph.D.,
Victoria Hammersley, B.Sc., Sima Hayavi, Ph.D., Anne McAteer, M.Sc., Ken
Stewart, M.D., and Fergus Daly, Ph.D. “Early
Treatment with Prednisolone or Acyclovir in Bell’s Palsy”. N Engl J Med 2007; 357:1598-1607.
Lewis P.
Rowland. Merrit’s Texbook of Neurology. 9th Ed. Williams & Wilkins.
1995.;468-469.
Donald H. Gilden, M.D. “Bell
Palsy”. N Engl J Med 2004; 351:1323-1331
James W Russel. “Bell Palsy”.
2011. MedMerits, free access to the information doctrs rely on. URL: http://www.medmerits.com/index.php/article/bell_palsy/P5
Gambar dari
URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1166804-overview